Terinspirasi dari “rumah tanpa jendela” maka muncullah keinginan untuk
melambaikan jari diatas tuts keyboard. Sembari mengisi waktu luang, adalah saat
yang tepat untuk menggambarkan rumah dimana diri ini dibesarkan.
Sebenarnya, Lebih tepatnya adalah rumah matahari. Kenapa disebut sebagai
rumah matahari? Ya.. karena setiap celah dinding dan atapnya mampu diterobos
dengan sempurna oleh sinar matahari. Saat mentari menunjukkan keperkasaannya
dari ufuk timur, cahaya kuning emas semburat indah meluncur bersama paket-paket
spectrum warna, menembus celah-celah kecil dinding yang hanya tersusun atas
anyaman bambu alakadarnya. Seolah mereka saling berkejaran saat setiap asap
jelaga putih perapian tungku bersorak sorai menyambut kedatangannya.
Cahaya itu mengenai benda apapun yang mencoba mengahalanginya. berbentuk
lingkaran penuh apabila tegak lurus, dan berbentuk oval apabila cahaya itu
bersudut dengan benda yang dikenainya. Dan oval-oval kuning keputihan itu
semakin terlihat jelas dan sempurna ketika mendarat pada lantai alami. Lantai
tanpa campuran apapun. Tak ada semen, pasir, dan yang pasti juga tak ada
keramik. Yang ada hanyalah tanah timbun yang dipadatkan, sebagai pijakan kaki
dari langkah manusia pinggiran.
Tengoklah keatas, langit-langit yang begitu jelas akan susunan kayu
penyangga, saling beradu dengan reng membentuk kotak-kotak persegi panjang
layaknya Microsoft excel. Namun, tidak semuanya bisa tersusun rapi. Karena usia
rumah ini lebih tua dari penghuninya, maka tambal sulam pun tak terelakkan
lagi. Barisan genteng membujur seolah bentukan pasukan baris berbaris. Tidak
secara keseluruhan, namun hanya sebagian dari bawah atap itu dilapisi plastic
yang menghampar. Fungsi dari plastic ini adalah sebagai penadah rembesan air
yang menembus sebagian geteng yang sudah mulai dimakan usia. Sehingga air yang
bocor itu dapat dialirkan mengikuti radian sudut yang dibentuk dari kemiringan
atap itu bersama lembaran plastic yang membentang tersebut.
Tungku perapian disetiap pagi dan sore masih mengepul. Pertanda dapur
menjadi aktivitas sentral untuk mengisi kekosongan perut. Pagi menjelang
shubuh, sayup-sayup api perapian sudah menyala. Dan disana sudah ada dua panci
besar. Satu untuk menanak nasi, dan satu adalah air yang dimasak untuk stock air
minum. Setelah sholat shubuh, muncullah seorang bocah yang sedang menjaga
perapian. Sembari ia mengahangatkan diri, bersama itu juga terkadang ia
berceloteh dan kadang bernyanyi-nyanyi sendiri. Tak jelas apa yang ia
nyanyikan, tapi yang terdengar jelas adalah lagu sya’ir sholawat yang
senantiasa ia hafal. Dan terkadang juga, hafalan surat-surat juz 30 yang ia
lantunkan. Jika mentari mulai terlihat dari rumah matahari yang menerobos celah
kecil itu, ia mulai bergegas mempersiapkan diri
untuk berangkat sekolah. Sinar kecil yang sekaligus berfungsi sebagai
penunjuk waktu.
Rumah ini terkesan tak beraturan dan berantakan. Karena tak ada tempat
yang cukup untuk menyimpan barang-barang yang mungkin bagi kalangan atas merupakan barang bekas. Tapi bagi sang pemilik,
apa yang ada didalam rumah adalah harta, meskipun itu adalah barang-barang yang
tak berkelas.
Ah rumah mentariku yang malang. Kapan ku bisa memperbaikinya hingga
berdiri kokoh. Tak kerepotan ketika musim penghujan, dan tak silau karena surya
yang tanpa segan masuk kedalam. Nanti hingga saatnya tiba, rumah mentariku akan
berdiri dengan perkasa hingga orang tak memandang sebelah mata. insyaAllah..
0 comment:
Posting Komentar