10 Desember 2011

secuil kisah di teluk pang-pang

Masihkah kalian dapati seseorang yang masih takut untuk naik sepeda motor meskipun ia di bonceng? Masihkah kalian menemui seseorang yang masih ketakutan ketika ia mendengar suara keras dari sound system dari orang yang sedang menyelenggarakan hajatan? Jika kalian masih menemukan hal itu, berarti kita memiliki kesamaan kejadian. Ya, ia adalah saudara sepupuku. Yang kala itu ia masih sangat awam dengan perkembangan di era sekaang ini.
Bagaimana tidak, ia tinggal jauh dari keramaian, jauh dari hingar bingar kehidupan kota. Ia tinggal di ujung timur pulau jawa, yaitu sekitar semenanjung belambangan atau tepatnya di teluk pang-pang. Jika kalian melihat di peta jawa timur, atau lebih saya rekomendasiakan adalah peta kabupaten banyuwangi, lihatlah bagian paling kanan di kecamatan muncar dan arahkan jari kalian mendekati daerah perairan yang membentuk huruf U. Disanalah ia dan kedua orang tuanya tinggal.
Rumahnya seperti tempat perasingan. Tidak ada tetangga, tidak ada satupun rumah kecuali rumah yang ketika air laut pasang, maka air laut itu kan masuk kedalam. Depan rumah berhadapan langsung dengan lautan teluk dan rerimbunan hutan bakau, sebelah kiri adalah sungai air payau yang langsung bermuara ke laut, sebelah kanan adalah hutan bakau dan penyempitan teluk, serta belakang rumah adalah tambak yang tidak difungsikan lagi. Untuk mencapainya saya mesti ekstra hati-hati. Bagaimana tidak, 2 Km sebelum mencapai rumah perasingan itu, saya mesti menempuh medan ekstrim. Lebar jalan cuman 1 meter maksimum, sedangkan lebih dari itu adalah sungai air payau yang tadi telah aku sebutkan dan memiliki tebing yang curam. sedangkan mendekati 1 Km, pilihannya ada dua ketika kalian terjatuh. Sebelah kiri adalah sungai dengan tebing curam, atau sebelah kanan yang langsung kecebur ke tambak udang yang lumayan dalam. Apalagi pada saat musim hujan, lengkaplah sudah halangan dan rintangan untuk mencapai tempat itu.
berikut adalah hasil photo yang ku ambil ketika kebetulan ada waktu luang dan ku sempatkan main kesana,
Namun kawan, disana adalah tempat yang tepat untuk melepas segala penat. Bagi kalian yang lagi setres, saya rekomendasikan untuk bermukim disana untuk sementara waktu. Kesunyian dan ketenangan adalah nilai utama dari rumah yang sekat pembatasnya hanya dari bambu dan kardus itu. Pernah kucoba untuk bermalam disana, wow ini sangat keren sekali. Sendirian ditengah sunyi, tanpa ada penerangan dari PLN (tidak terjangkau). Penerangannya adalah dari dhamar yang terbuat dari kaleng kecil bekas cat. Temaram lampu dhamar bermandikan cahaya kedamaian dengan obrolan rakyat kecil yang selalu bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan.
Aktivitas yang paling mengasikkan adalah ketika mencari kepiting, atau bahasa orang sana adalah mentur. Aku paling suka ketika mengangkat jaring dan disitu kepiting terjsangkut di jaring. Apalagi kalo dapetnya yang kelas A. Ukurannya...wuiih.. gedhe banget. Eits.. tapi hanya mengangkat jaringnya saja kawan yang kubisa. Setelah itu ya terserah anda. Hehe... maksudnya setelah jaring terangkat, aku serahkan si kepiting itu kepada sepupuku atau ibu dari sepupuku itu. Untuk kemudian di ikat. Di ikat capitnya yang besar dan kaki-kakinya yang banyak (gua masih belum berani, takut kalo entar si kepeting tu nyapit..hahaha..).
Tidak ada harapan besar dari orang tua dari sepupuku itu yang ibunya adalah adik ke 4 dari bapakku. Harapan terbesarnya adalah bahwa anak-anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ya, hanya itu saja, tidak lebih. Tidak ada mata pelajaran khusus yang di ajarkan dari orangtua ke anak-anaknya di rumah gubuk sederhana itu. Kecuali pelajaran Al-Qur’an dan Akhlaq. Sempat saya terkaget, anak pertamanya melantunkan ayat Al-Qur’an dan nada yang ia gunakan sama persis dengan kepunyaan imam masjidil haram yaitu seikh As-sudais (#jujur saja, gua sempet iri).
Semua keluarga itu berbahasakan Osing yang sangat kental. Dan dengan bahasa yang kental itu pula, ia selalu meng elu-elukan aku bahwa aku haruslah menjadi orang besar. Maklum saja, hanya aku dari seluruh saudara sepupuku semua, baik dari adiknya bapak maupun dari ibu yang mampu menyelesaikan pendidikannya hingga S1.  Ketika ia bertanya perihal sekolahku, “hiro saikai wes lulus tah?, jurusane paran? (kamu sudah lulus? Jurusannya apa?)” dengan semangat ku menjawab “sampun weh.. jurusane’ teknik pertanian. (iya sudah, jurusannya teknik pertanian).” Dan apa coba yang terlontar kemudian..?. “bieek... kadung gedigau, siro mesti dadi mentrai pertanian..! (wah.. kalo begitu kamu harus jadi menteri pertanian!).” Dan dalam hati ku berkata, “whuuuaaat??? Itu memang mimpi saya” dan di barengi senyum ku hanya bisa menjawab “hehehe... enggeh pun... kari pandongane mawon.. (iya.. mohon di doa’akan saja).”
Ya.. begitulah kawan. Sekelumit kisah dari negeri seberang. Ternyata masih ada seseorang yang berharap besar dari orang kampung seperti aku ini. Mudah-mudahan saja, apa yang beliau harapkan dari anak-anaknya dan aku yang notabene adalah keponakannya bisa terwujud. Aamiin..



0 comment:

Posting Komentar