Sudah hampir lebih dari 15 hari aku berada di kota terbesar ke dua di indonesia setalah jakarta, yaitu surabaya. Aku mengadu nasib kawan. Bertanya sana dan sini tentang info lowongan kerja. Ku ikuti job fair di beberapa tempat. Tes demi tes kujalani, dan beberapa interview ku penuhi. Begitu gembira ketika melihat handphone berdering dan aku mendapat panggilan untuk menjalani serangkaian tes.
Tes yang panjang dan sedikit merisaukan adalah menanti pengumuman hasil tes yang dilakukan salah satu perbankan Nasioanl. Mulai dari seleksi administrasi di pagi hari, malam kemudian di umumkan dan alhamdulillah lolos. Lanjut keesokan paginya tes bahasa inggris, malam di umumkan dan lolos. Besoknya lagi masih di waktu yang sama yaitu di pagi hari tes IQ+psikotes, malam di umumkan dan lolos. Lanjut besoknya lagi tes interview dan FGD, dan sampek sekarang belum ada panggilan. Maka saya nyatakan gagal.
Tiba-tiba sore kemarin ada telphone, tapi yang ini beda posisi. Lagi, saya di minta hadir. Seperti biasa, interview. Namun pada hari ini sembari nunggu antrian, saya mencoba untuk merenungkan kejadian demi kejadian yang aku alami beberapa kurun waktu ketika tak ada kegiatan yang berarti dalam diriku (jobless).
Kulihat diruangan samping beberapa karyawan yang begitu nikmatnya menyantap hidangan. Kalo dilihat-lihat sih, macem-macem tuh makanan (ngarep.com). satu persatu ku perhatikan wajah-wajah mereka. Dalam hati ku bertanya, “Apakah mereka bahagia dengan pekerjaan mereka?” begitu santainya pekerjaan mereka. Lantas lamunanku beralih pada sederetan tukang becak yang hampir setiap hari aku temui di pinggir masjid al-makmur. Mereka yang menurut prediksi saya adalah pendatanga, tidur, makan, dan aktivitasnya di habiskan di becak. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa pakaian yang mereka bawa mereka simpan di bawah jok dimana penumpang biasanya duduk. Allah kariim... ya, becak itu merupakan aset satu-satunya. Sarana untuk bekerja sekaligus menjadi rumah baginya.
Lamunanku beralih topik. Kulihat diriku sendiri. “Hei kamu yang duduk termenung. Kamu ingin bekerja sebagai apa?, apa yang kau cari ketika bekerja?” dan secara otomatis pikiran melayang jauh kesana kemari. Mikir temen yang sekarang jadi penjaga toko, jadi satpam di pelalangan ikan, jadi tukang ukir kaca, jadi pengajar, wes macem-macem dah. Kacau pokoknya ni pikiran. Tapi tanpa sadar di dalam penerawangan ku melihat kebun yang rindang, ada pohon jeruk didalamnya, ada bukit kecil di ujung bagian barat. Dan tersentaklah diriku. Orang tu kebun adalah kebun nenek. Haha... tapi kawan, sejak dari kecil di kebun itulah aku bermain. Ikut bapak ambil kelapa muda, ambil ketela pohon, menanam sayuran, dan bahkan tragedi di mana tangan bapak di patuk ular pun ada di kebun itu.
Entahlah.. kok kayaknya merasa bahagia jikalau aku berada ditengah-tengah rimbun tanaman-tanaman, daripada harus duduk di dalam ruangan ber AC, memainkan komputer, atau apalah. Tapi yang pasti ada “sesuatu” yang menghubungkan jiwaku dengan tanaman-tanaman mungil itu. Mereka seolah menyapa, dan mengucapkan selamat datang ketika lama sekali aku tak menyambanginya. Dan pada saat itu pula aku berpikir bahwa, apakah memang aku harus bekerja sebagai petani? Terserahlah orang mau berkata apa, yang penting aku bahagia.
“nomor 4359!!” suara itu mebangunkan lamunanku. Kini tiba giliranku masuk ruangan interview. Dan aku pun masuk dengan gaya yang tak lazim. Malas rasanya kau masuk ruangan iterview. Cuek, bahkan terserahlah si asestor menanyaiku apa dan ku jawab semau saya. Peseta interview disamping saya pun yang berderet-deret kulihat sibuk memepersiapkan jawaban, dan dengan gaya duduk yang kayaknya diatur sedemikian rupa. Tapi, yang ada dalam pikiranku pada saat itu adalah sawah, air, rumput, dan berbagai jenis tanaman perdu lainnya. Haha...
0 comment:
Posting Komentar