ditemani
oleh lampu senter dengan dua buah baterai, ia menembus hutan Elaeis. kakinya mengayun
dan berputar tiga ratus enam puluh derajat
melaju bersama dua roda. Jalan setapak, becek, dan tak beraturan adalah
makanan dalam keseharian. Menerawang gelap, memasang telinga, apakah panggilan
suci telah berkumandang. Bersama merdunya suara kumbang malam, bersama itu pula
keluar dari mulut mungil untaian dzikir dan hafalan Qur’an.
Sering-sering
ia melihat arloji digital yang terbalut di tangan kirinya. Ia terus beradu
kecepatan dengan kakinya yang sedang mengayuh. Terkadang ia juga menengadah ke
langit, Melihat berjuta bintang sebagai tanda kebesaran. seketika itu pula ia
mengucapkan kalimat tahmid, tanda syukur atas pemandagan yang begitu menakjubkan.
‘afalaayandzuruuna ilal ibili kaifak khuliqot, wailas samaa i kaifa rufi’at,
wailal jibaalli kaifa sutihat. Fadzakkir…. Ayat yang menjadi pegangan untuk
selalu mengingat akan indahnya penciptaan yang tiada bandingnya.
Jaraknya
masih lumayan jauh dari apa yang menjadi tujuan. disetiap pergeseran jaraknya,
ia selalu menggunakan brain power untuk mencerna dan terkadang mengamati
perjalanan yang telah ia lewati selama ini. Dan tak khayal, terkadang ia pun berfantasi..
Maka munculah
sajak sya’ir…………………………………………………………………
Tak ubahnya seperti kuncup mawar yang akan merekah. Warnah merah ranum
tanda keberanian beradu dengan putih yang begitu memukau. Dan tetesan gutasi
embun pagi, menjadikan ia menjadi sempurna untuk sebuah pesona indah yang sedap
dipandang mata.
Santun, lembut tutur katanya, dan alisnya yang cantik bak bulan sabit,
dengan senyuman manis merona. duh.. bahagia nian, bagi orang yang mampu
mendapatkannya. Hati kan senantiasa tenteram ketika didampingkan dengan orang
yang bagus akhlaknya, dipandang menyejukkan hati, dan jika di tinggal kan
menjaga kehormatannya.
Balutan hijab yang berlabelkan syari’at, menambah ke elokan dan keanggunan-nya.
Entah apa yang menajdikan ia begitu sempurna, dengan berjuta aura yang
menyertainya..
………………………………………..
Haayya’alal
falaah…
suara
panggilan kemenangan mulai terdengar meskipun terasa samar. pertanda bahwa
tempat yang dituju mulai dekat. Seketika itu ia teringat bahwa ia telah
mengigau untuk kesekian kali. Reflek ucapan istighfar menjadi obat anestesi
kesadaran diri. Hingga sampailah ia di tempat dimana ia dan hatinya selalu
terpaut. Ya.. rumah suci yang kini sudah ada di hadapannya, masjid Al-ikhlas.
Kini cinta
yang sebenarnya telah benar-benar ia rasakan. Tak terasa beberapa butir tetesan
airmata membasahi pipinya. Lega rasanya ketika ia mengungkapkan segala isi hati
atas apa yang ia sedang alami. Akan sebuah cinta yang terpendam terlalu dalam. Akan
sebuah realita bahwa ia hanya bisa mencintai dalam diam.
0 comment:
Posting Komentar