2 Mei 2012

Hati yang Terpaut


ditemani oleh lampu senter dengan dua buah baterai, ia menembus hutan Elaeis. kakinya mengayun dan berputar tiga ratus enam puluh derajat  melaju bersama dua roda. Jalan setapak, becek, dan tak beraturan adalah makanan dalam keseharian. Menerawang gelap, memasang telinga, apakah panggilan suci telah berkumandang. Bersama merdunya suara kumbang malam, bersama itu pula keluar dari mulut mungil untaian dzikir dan hafalan Qur’an.

Sering-sering ia melihat arloji digital yang terbalut di tangan kirinya. Ia terus beradu kecepatan dengan kakinya yang sedang mengayuh. Terkadang ia juga menengadah ke langit, Melihat berjuta bintang sebagai tanda kebesaran. seketika itu pula ia mengucapkan kalimat tahmid, tanda syukur atas pemandagan yang begitu menakjubkan. ‘afalaayandzuruuna ilal ibili kaifak khuliqot, wailas samaa i kaifa rufi’at, wailal jibaalli kaifa sutihat. Fadzakkir…. Ayat yang menjadi pegangan untuk selalu mengingat akan indahnya penciptaan yang tiada bandingnya.
Jaraknya masih lumayan jauh dari apa yang menjadi tujuan. disetiap pergeseran jaraknya, ia selalu menggunakan brain power untuk mencerna dan terkadang mengamati perjalanan yang telah ia lewati selama ini. Dan tak khayal, terkadang ia pun berfantasi..
Maka munculah sajak sya’ir…………………………………………………………………  
Tak ubahnya seperti kuncup mawar yang akan merekah. Warnah merah ranum tanda keberanian beradu dengan putih yang begitu memukau. Dan tetesan gutasi embun pagi, menjadikan ia menjadi sempurna untuk sebuah pesona indah yang sedap dipandang mata.
Santun, lembut tutur katanya, dan alisnya yang cantik bak bulan sabit, dengan senyuman manis merona. duh.. bahagia nian, bagi orang yang mampu mendapatkannya. Hati kan senantiasa tenteram ketika didampingkan dengan orang yang bagus akhlaknya, dipandang menyejukkan hati, dan jika di tinggal kan menjaga kehormatannya.
Balutan hijab yang berlabelkan syari’at, menambah ke elokan dan keanggunan-nya. Entah apa yang menajdikan ia begitu sempurna, dengan berjuta aura yang menyertainya..
………………………………………..
Haayya’alal falaah…
suara panggilan kemenangan mulai terdengar meskipun terasa samar. pertanda bahwa tempat yang dituju mulai dekat. Seketika itu ia teringat bahwa ia telah mengigau untuk kesekian kali. Reflek ucapan istighfar menjadi obat anestesi kesadaran diri. Hingga sampailah ia di tempat dimana ia dan hatinya selalu terpaut. Ya.. rumah suci yang kini sudah ada di hadapannya, masjid Al-ikhlas.
Kini cinta yang sebenarnya telah benar-benar ia rasakan. Tak terasa beberapa butir tetesan airmata membasahi pipinya. Lega rasanya ketika ia mengungkapkan segala isi hati atas apa yang ia sedang alami. Akan sebuah cinta yang terpendam terlalu dalam. Akan sebuah realita bahwa ia hanya bisa mencintai dalam diam.



0 comment:

Posting Komentar